Minggu, 25 November 2018

Asal Syaratnya Lengkap

PERNAH dengar jargon pelayanan begini. Urus Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga, gratis, satu hari selesai, asal syaratnya lengkap. Nah, syaratnya lengkap ini yang susah. Sebagaimana pengalaman kenalan saya membuat akta kelahiran untuk anak mereka yang keempat.
Surat keterangan lahir ada, buku nikah ada, kartu keluarga ada, lengkap semua syaratnya. Tapi tak bisa juga jadi sehari.
Apa masalahnya? Ternyata penulisan nama ayahnya di buku nikah dengan KTP dan KK (Kartu Keluarga) berbeda.
Beda satu huruf yang bunyinya mirip. Seperti antara “j” dengan “z”, “f” dengan “p” atau “d” dengan “t” di akhir kata. Katanya karena ini online, tidak bisa satu huruf pun beda.
Mulai persyaratan bertambah! Disuruh membawa akta kakak-kakak di jabang bayi, sampai ijazah. Dibawakan, lengkap semua ada. Tapi bukannya selesai masalah, tambah persoalan.
Ternyata ditemukan lagi varian penulisan nama yang berbeda dari tiga akta anak-anak tersebut. Kali ini soal singkatan nama. Katanya belum tentu "M" itu "Muhammad", jangan-jangan Michael.
Jelas sudah, urusan tidak selesai sehari, tapi berhari-hari, sampai berminggu-minggu dan lewat bulan. Bolak balik berurusan, bukan cuma Dukcapil yang didatangi. Tapi juga kelurahan, KUA, pengadilan negeri, kantor pos, sampai ke pengadilan agama.
Habis-habisan menjelaskan. Tak bisa diterima. Katanya ini harus sidang dulu. Sampai emosi, karena sempat diucapi kalau biasanya kesalahan seperti itu karena dokumennya diuruskan oleh orang. Padahal ia selalu mengurus sendiri.
Sampai ia pada satu kesimpulan, "Bujur haja wahini gratis, tapi setangah mati repotnya. Bahari lagi bayar, diulahakannya ae tarus, kada behimat-himat becari syarat ini itu."
Akhirnya, tak bisa ditawar juga. Dari petunjuk pejabat Dukcapil tertinggi. Jalan keluarnya, buka sidang di Pengadilan Negeri (PN), sama seperti sidang orang berganti nama.
Datanglah dia ke PN. Pertama, bertanya apa saja syarat-syaratnya. Macam-macam, termasuk diantaranya membayar uang jaminan Rp500 ribu di bank, lalu membuat sendiri surat permohonan sidang. Tapi diberi contohnya, dari perkara orang lain.
Satu lagi yang harus didatangi, Kantor Pos. Kenapa? Karena semua dokumen yang akan diajukan, dilampirkan dalam permohonan sidang, harus dilegalisir oleh Kantor Pos.
Bayar? Tidak. Tapi ada syaratnya. Untuk dapat stempel legalisir Kantor Pos harus disertai materai Rp6000. Kalikan saja setiap rangkap dokumen yang dilegalisir.
Kembali ke pengadilan, menyerahkan permohonan, bukti transfer dan sidang pun dijadwalkan minggu depan.
Tambah syarat lagi, pelapor harus membawa dua saksi saat sidang. Saksi juga ada syaratnya, tidak boleh ada hubungan keluarga dengan pelapor, tapi harus mengetahui dengan baik, siapa pelapor.
Dalam kasus ini, dia membawa tetangga dan guru mengaji. Pagi-pagi sebelum berangkat ke pengadilan, digelar selamatan kecil-kecilan, juga "geladi resik", kira-kira apa saja yang ditanyakan hakim. Utamanya soal identitas saksi, hubungan dengan pelapor dan peristiwa penting terkait pelapor. Pernikahan dan kelahiran anak-anak pelapor. Sampai-sampai dibuatkan krepean nama-nama anak-anak pelapor.
Tiba di pengadilan, para pegawai PN masih upacara. Karena panitera mewanti-wanti, jangan sampai terlambat datang untuk sidang.
Masuk ruang sidang. Pelapor suami istri dan saksi-saksi sedikit tegang. Ketika saksi 1 Guru Ngaji ditanya hakim. Ini anak bapak? Spontan dijawab, Iya.
Waduh, padahal kan sudah diingatkan oleh panitera, bahwa saksi dan pelapor tidak boleh mempunyai hubungan keluarga.
Terus Hakim menanyakan nama-nama anak pelapor, dengan santai abah Guru ini mengeluarkan kertas dari kantongnya dan mulai membaca. Hakim berucap datar, "Oh, sudah ada catatannya ya."
Saksi kedua, Tetangga, ternyata cuma diverifikasi alamat sesuai KTP. Setelah itu, Hakim bertanya kepada pelapor, apakah ada yang ingin disampaikan.
Barulah dijelaskan, saksi Guru Ngaji bukanlah orang tua dalam artian nasab. Melainkan orang yang mereka muliakan, karena ilmu yang diberikannya. Beliau juga menganggap murid sebagai anak-anaknya.
Hakim maklum, sidang ditutup dan harus datang lagi minggu depan untuk mendengarkan pembacaan putusan. Lalu menunggu sepekan lagi, barulah salinan putusan diserahkan. Beserta uang kembalian sekitar Rp100 ribu dari uang jaminan yang diserahkan ke bank.
Dibawalah surat putusan Pengadilan Negeri tadi ke loket pelayanan Dukcapil, beserta semua persyaratan untuk membuat akta kelahiran. Warbyasah, ternyata tak diterima. Katanya kalau beda nama KK dengan buku nikah, harus sidang dulu untuk perbaikan buku nikah di Pengadilan Agama, bukan PN.
Sudah dijelaskan, kalau sidang di PN ini atas petunjuk pejabat tertinggi Dukcapil juga. Petugas pelayanan itu sempat membawa berkas masuk ke dalam, berkonsultasi. Tapi ternyata hasilnya juga sama. Tak diterima.
Baiklah, rakyat kecil kembali harus mengalah, menuju pengadilan agama, bertanya bagaimana sidang memperbaiki Buku Nikah. Prosedurnya hampir sama dengan PN, tapi yang beda kata petugasnya, jangka waktunya. Kalau di PN setelah masuk permohonan seminggu kemudian sidang. Di PA bisa tiga bulan baru dipanggil. Karena perkara yang mereka tangani banyak sekali. Pikir-pikir dulu, pulang ke rumah.
Akhirnya, terpaksa juga mengadu pada pejabat Dukcapil tertinggi lagi. Diceritakanlah kronologi. Dipanggil stafnya, terus dijelaskan duduk perkara. Jam 10 mengadu, jam 13.00 lewat sedikit ditelepon. KK dan Akta sudah selesai, beserta perbaikan semua Akta yang berbeda penulisan nama. Done.