Rabu, 01 Oktober 2014

Persiapkan Museum Banjar di Parit Buntar


Masjid Tinggi (kanan) dan Masjid Al Athar, Bagan Serai, Malaysia
Mengunjungi Bagan Serai, Bertemu Kulaan Banjar di Malaysia

Bagan Serai, Negeri Perak Darul Ridzuan ternyata bukan satu-satunya daerah pemukiman warga Banjar di Malaysia.  Kedatangan orang Banjar ke Malaysia pun terjadi dalam beberapa gelombang, dimulai sejak zaman kerajaan Banjar.

Menurut Haji Jamaluddin bin Asaari, eksistensi orang Banjar di Malaysia ditandai dengan penggunaan Bahasa Banjar di daerah pemukiman orang Banjar.  Selain di Bagan Serai, di negeri Perak orang Banjar juga banyak bermukim di Kuala Kurau, Parit Buntar, Tanjung Piandang, Selinsing, Gunung Semanggol (Kerian), Bota, Titi Gantung, Sitiawan,  Sungai Manik, Bagan Datuk.
Sementara di negeri Selangor, kelompok Banjar dapat ditemui di Sabak Bernam, Sungai Besar, Sekinchan dan Kuala Selangor. Di Johor pula terdapat di kawasan Batu Pahat, Muar dan Mersing.
Sebagai dosen di Fakultas Bahasa Universitas Sultan Idris Malaysia, Jamaluddin aktif dalam kegiatan kemasyarakatan Banjar.  Ia adalah pengurus di Pertubuhan Banjar Malaysia, kemudian setia usaha (sekretaris, Red) di Masjid Al Athar, kemudian mengurus College Al Akhlak Al Islamiyah Masjid Tinggi dan terbaru ia mendapat tugas untuk menyiapkan museum Banjar.
Bersama Haji Jamaluddin bin Asaari di depan Masjid Tinggi
Soal kedatangan orang Banjar ke Malaysia, selain karena perdagangan karet sebagaimana diceritakan tokoh-tokoh tua Bagan Serai di edisi kemarin, menurut Jamaluddin sebelumnya juga sudah ada tiga gelombang kedatangan orang Banjar.  Mereka inilah yang tinggal tersebar di berbagai negeri di Malaysia.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Etnik Banjar yang menjadi imigran ketika itu adalah para pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam Perang Saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Masyarakat Banjar yang menjadi imigran adalah terdiri dari mereka yang mendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar.  Sebagian diantaranya kemudian menyeberang ke Malaysia.
Ketiga, pada tahun 1905 etnik Banjar kembali melakukan migrasi besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka sekali lagi  terpaksa berhijrah kerana Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar ketika itu terbunuh di tangan Belanda.
Zuriat kesultanan Banjar inilah yang menyebar di berbagai daerah pemukiman Banjar di Malaysia.  Salah seorang Pegustian (istilah darah biru di Kerajaan Banjar) yang berhasil ditemui Radar Banjarmasin adalah H Ahmad Murad.  Ia adalah salah satu warga Malaysia yang pada Milad Kesultanan Banjar ke-508 di Martapura 925/11/2012) tadi mendapat gelar Dato' Natawarga Laksana Utama dari Sultan Banjar Pangeran H Khairul Saleh.  Saat ini Murad tinggal di Kuala Lumpur, tepatnya di kawasan Taman Tun Dr Ismail Jln Burhanudin Helmi No 18.
Kepada Radar Banjarmasin, Murad bercerita, saat Belanda menjajah kerajaan Banjar, sebagian anggota keluarga kerajaan mengamankan diri ke Malaysia dan Makkah.  "Datuk kami bermukim di Bagan Datu, disana sempat mendirikan masjid dan sekolah Islam," ujarnya.
Kemudian kakeknya pindah ke Sungai Besar yang kini juga dikenal sebagai daerah pemukiman orang Banjar di Malaysia. "Nah saya lahir di Sungai Besar," terang pria yang tercatat sebagai pensiunan Ketua Eksekutif di Anak Syarikat Bank Rakyat Malaysia tersebut.
Selain keturunan Banjar yang masih melestarikan budaya dan bahasa Banjar di Malaysia, jejak sejarah Banjar juga ada yang berupa bangunan, karena seperti sudah menjadi kelaziman, di setiap tempat yang ditempati orang Banjar di Malaysia, mereka selalu membangun masjid dan sekolah Islam.  Salah satu peninggalan bangunan terkenal adalah Masjid Tinggi di Bagan Serai.  Menurut sejarahnya, masjid ini dibangun pada tahun 1897 yang dipelopori oleh Haji Din.  Ia mewakafkan tanahnya dan memimpin gotong royong membangun masjid ini, dengan arsitektur bangunan yang mirip dengan masjid-masjid tua di Banjarmasin.  Seperti masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin (1526 M), Masjid As Su'ada (Masjid Baangkat-1908), Masjid Banua Halat di Tapin dan Masjid Banua Lawas (1625 M) di Tabalong.
Demi pelestarian nilai sejarahnya, saat ini Masjid Tinggi sudah tidak difungsikan lagi, digantikan masjid Al Athar yang dibangun di sebelahnya.
"Menurut kisah, kayu ulin yang dijadikan tiang guru masjid lama ini dibawa dari Banjar," ujar H Jamaluddin, Sekretaris Panitia Masjid Al Athar, Bagan Serai kepada Radar Banjarmasin.
Setelah tidak lagi difungsikan, sempat ada wacana untuk menjadikan Masjid Tinggi sebagai museum Banjar.  Namun menurut pendapat para ulama setempat, karena museum bersifat terbuka, dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang melanggar adab-adab di Masjid oleh pengunjung. "Akhirnya, untuk museum Banjar kita disediakan tempat di Parit Buntar oleh pemerintah, kebetulan kami yang menjadi panitia persiapannya," ujar Jamaluddin. (bin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar